jabu saur batak && upacara adat batak
Pada masyarakat suku Batak, siklus kehidupan seseorang dari lahir kemudian dewasa, berketurunan sampai meninggal, melalui beberapa masa dan peristiwa yang dianggap penting. Karenanya pada saat-saat atau peristiwa penting tersebut perlu dilakukan upacara-upacara yang bersifat adat, kepercayaan dan agama. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara turun mandi, pemberian nama, potong rambut dan sebagainya pada masa anak-anak, upacara mengasah gigi, upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Di kalangan masyarakat Batak dikenal upacara memberi makan enak kepada orang tua yang sudah lanjut usia tetapi masih sehat, tujuannya untuk memberi semangat hidup agar panjang umur dan tetap sehat. Juga kepada orang tua yang sakit dengan maksud agar dapat sembuh kembali. Upacara ini disebut "sulang-sulang". Meskipun kini sebagian besar penduduk sudah memeluk agama Islam atau Kristen, tapi kepercayaan lama yang bersifat animistis masih terlihat dalam upacara-upacara yang dilakukan. Misalnya upacara memanggil roh leluhur ke rumah keluarga yang masih hidup dengan perantaraan Sibaso atau dukun wanita. Sibaso nanti akan kemasukan roh, sehingga setiap ucapannya dianggap kata-kata leluhur yang meninggal. Di daerah Batak Toba upacara ini disebut "Sigale-gale". [ TOP ] Rumah adat Siwaluh Jabu, rumah adat Batak Karo. Rumah ini bertiang tinggi dan satu rumah biasanya dihuni atas satu keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai 8 keluarga Batak. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap ada, yakni di batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah ditentukan pula oleh adat. Urutan ruangan dalam rumah Siwaluh jabu adalah sebagai berikut :
|
| |||||
Umumnya di setiap rumah adat ini terdapat empat buah dapur yang masing-masing digunakan oleh dua keluarga, yaitu oleh jabu-jabu yang bersebelahan. Tiap dapur terdiri dari lima buah batu yang diletakkan sebagai tungku berbentuk dua segi tiga bertolak belakang. Segi tiga tersebut melambangkan rukuh sitelu atau singkep sitelu yaitu tali pengikat antara tiga kelompok keluarga. Kalimbuhu, senina dan anak beru atau Sebayak. Dinding rumah dibuat miring, berpintu dan jendela yang terletak di atas balok keliling. Atap rumah berbentuk segitiga dan bertingkat tiga, juga melembangkan rukut-sitelu. Pada setiap puncak dan segitiga-segitiga terdapat kepala kerbau yang melambangkan kesejahteraan bagi keluarga yang mendiaminya. Pinggiran atap sekeliling rumah di semua arah sama, menggambarkan bahwa penghuni rumah mempunyai perasaan senasib sepenanggungan. Bagian atap yang berbentuk segitiga terbuat dari anyaman bambu disebut lambe-lambe. Biasanya pada lambe-lambe dilukiskan lambang pembuat dari sifat pemilik rumah tersebut, dengan warna tradisional merah, putih dan hitam. Hiasan lainnya adalah pada kusen pintu masuk. Biasanya dihiasi dengan ukiran telur dan panah. Tali-tali penginkat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati. Rumah adat Siwaluh jabu yang selalu bertangga dengan jumlah anak tangga ganjil, dihuni oleh keluarga di mana anak-anak tidur dengan orang tuanya sampai berumur 14 tahun. Bagi anak laki-laki dewasa atau bujangan tidur di tempat lain yang disebut Jambur, begitu pula tamu laki-laki. Jambur sebenarnya lumbung padi yang dipergunakan untuk tidur, bermusyawarah dan istirahat para perempuan dan laki-laki. Rumah adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga batih. Untuk memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah. Lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75 meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi. Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun berdiam disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Ruangan di belakang sudut sebelah kanan disebut jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau por jabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Ruangan ini dahulu dianggap paling keramat. Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong disebut Jabu Soding diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Di sudut kiri depan disebut Jabu Suhat, untuk anak laki-laki tertua yang sudah kawin dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu. Bila keluarga besar maka diadakan tempat di antara 2 ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah 2 lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Di antara 2 deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah. Bangunan lain yang mirip dengan rumah adalah sapo yakni seperti rumah yang berasal dari lumbung tempat menyimpan, kemudian didiami. Perbedaannya dengan rumah adalah : Dopo berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan bawah terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang asing dan tempat bermain musik. Pada bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan dengan motif garis geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang disebut adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan lambang kesatuan. Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut Gorga. Hiasan lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri disebut mardusi yang terletak di dinding atas pintu masuk. Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah. Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari seng. Di anjungan Sumatera Utara, rumah-rumah adat yang ditampilkan mengalami sedikit perbedaan dengan rumah adat yang asli di daerahnya. Hal ini disesuaikan dengan kegunaan dari kepraktisan belaka, misalnya tiang-tiang rumah yang seharusnya dari kayu, banyak diganti dengan tiang beton. kemudian fungsi ruangan di samping untuk keperluan ruang kantor yang penting adalah untuk ruang pameran benda-benda kebudayaan serta peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di Sumatera Utara. Benda-benda tersebut meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur, alat-alat perang, alat-alat pertanian, alat-alat yang berhubungan dengan mistik, beberapa contoh dapur yang semuanya bersifat tradisional. Sedangkan peragaan adat istiadat dan sejarah dilukiskan dalam bentuk diorama, beberapa pakaian pengantin dan pakaian adat dan sebagainya. RUMAH ADAT BATAKHORAS HABATAKON di hita sude Anjungan Sumatera Utara berada di sebelah Utara arsipel Indonesia dengan batas sebelah Barat anjungan propinsi Sumatera Barat, sebelah Timur propinsi Daerah Istimewa Aceh dan sebelah Utara jalan raya. Anjungan Sumatera Utara diresmikan pada tahun 1975, dengan arsitek bangunan dari Dinas Pekerjaan Umum Tingkat I Sumatera Utara. Rumah adat Simalungun pada dasarnya hampir sama dengan rumah adat Batak Toba, karena daerahnya terletak antara pemukiman suku Batak Karo dan suku Batak Toba. Dalam bidang arsitektur Simalungun mempunyai ciri khas pada bangunan, yaitu konstruksi bagian bawah atau kaki bangunan selalu berupa susunan kayu yang masih bulat-bulat atau gelondongan, dengan cara silang menyilang dari sudut ke sudut. Ciri khas lainnya adalah bentuk atap di mana pada anjungan diberi limasan berbentuk kepala kerbau lengkap dengan tanduknya. Di samping itu pada bagian-bagian rumah lainnya diberi hiasan berupa lukisan-lukisan yang berwarna-warni yaitu merah, putih dan hitam. Ragam hias rumah bolon Simalungun antara lain hiasan Sulempat pada tepian dinding bagian bawah, hiasan saling berkaitan. Kemudian hiasan hambing marsibak yaitu kambing berkelahi. Hiasan Sulempat dan Hambing Marsibak menggambarkan kehidupan yang kait-berkait sehingga melahirkan kekuatan dan kesatuan yang tidak tergoyahkan. Hiasan pada bagian tutup keyong dengan motif segitiga, motif cicak, ipan-ipan serta motif ikal yang menyerupai tumbuhan menjalar. Biasanya pada bagian ini diberi hiasan kepala manusia yang disebut bohi-bohi, sebagai pengusir hantu. Seperti halnya hiasan ipan-ipan yang menggambarkan segi-segi runcing mempunyai maksud untuk menghambat hantu-hantu yang akan masuk rumah. Rumah adat kedua Siwaluh Jabu, rumah adat Batak Karo. Rumah ini juga bertiang tinggi dan satu rumah biasanya dihuni atas satu keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai 8 keluarga Batak. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap ada, yakni di batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah ditentukan pula oleh adat. Urutan ruangan dalam rumah Siwaluh jabu adalah sebagai berikut : Jabu bena kayu yaitu ruangan di depan sebelah kiri, didiami oleh pihak marga tanah dan pendiri kampung. Ia merupakan pengulu atau pemimpin rumah tersebut. Jabu sedapur bena kayu yaitu ruangan berikutnya yang satu dengan jabu bena kayu, juga dinamai Sinenggel-ninggel. Ruang ini didiami oleh pihak Senina yakni saudara-saudaranya yang bertindak sebagai wakil pemimpin rumah tersebut. Sedapat artinya satu dapur, karena setiap dua ruangan maka di depannya terdapat dapur yang dipakai untuk dua keluarga. Jabu ujung kayu, dinamai Jabu Sungkun Berita, didiami oleh anak Beru Toa, yang bertugas memecahkan setiap masalah yang timbul. Jabu sedapur ujung kayu yaitu ruangan sedapur dengan jabu ujung kayu, dinamai Jabu Silengguri. Jabu ini didiami oleh anak beru dari jabu Sungkun Berita. Jabu lepan bena kayu, yakni ruangan yang terletak berseberangan dengan jabu bena kayu, dinamai jabu simengaloken didiami oleh Biak Senina. Jabu sedapur lepan bena kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan bena kayu, didiami oleh Senina Sepemeren atau Separiban. Jabu lepan ujung kayu, didiami oleh Kalimbuh yaitu pihak pemberi gadis, ruangan ini disebut Jabu Silayari. Jabu sedapur lepan ujung kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan ujung kayu. Ruangan ini didiami oleh Jabu Simalungun minum, didiami oleh Puang Kalimbuh yaitu Kalimbuh dari jabu silayari. Kedudukan Kalimbuh ini cukup dihormati di dalam adat. Umumnya di setiap rumah adat ini terdapat empat buah dapur yang masing-masing digunakan oleh dua keluarga, yaitu oleh jabu-jabu yang bersebelahan. Tiap dapur terdiri dari lima buah batu yang diletakkan sebagai tungku berbentuk dua segi tiga bertolak belakang. Segi tiga tersebut melambangkan rukuh sitelu atau singkep sitelu yaitu tali pengikat antara tiga kelompok keluarga. Kalimbuhu, senina dan anak beru atau Sebayak. Dinding rumah dibuat miring, berpintu dan jendela yang terletak di atas balok keliling. Atap rumah berbentuk segitiga dan bertingkat tiga, juga melambangkan rukut-sitelu. Pada setiap puncak dan segitiga-segitiga terdapat kepala kerbau yang melambangkan kesejahteraan bagi keluarga yang mendiaminya. Pinggiran atap sekeliling rumah di semua arah sama, menggambarkan bahwa penghuni rumah mempunyai perasaan senasib sepenanggungan. Bagian atap yang berbentuk segitiga terbuat dari anyaman bambu disebut lambe-lambe. Biasanya pada lambe-lambe dilukiskan lambang pembuat dari sifat pemilik rumah tersebut, dengan warna tradisional merah, putih dan hitam. Hiasan lainnya adalah pada kusen pintu masuk. Biasanya dihiasi dengan ukiran telur dan panah. Tali-tali penginkat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai dua kepala saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan dua kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati. Rumah adat Siwaluh jabu yang selalu bertangga dengan jumlah anak tangga ganjil, dihuni oleh keluarga di mana anak-anak tidur dengan orang tuanya sampai berumur 14 tahun. Bagi anak laki-laki dewasa atau bujangan tidur di tempat lain yang disebut Jambur, begitu pula tamu laki-laki. Jambur sebenarnya lumbung padi yang dipergunakan untuk tidur, bermusyawarah dan istirahat para perempuan dan laki-laki. Rumah adat di Nias dibuat dengan ukuran lebih kecil dari rumah-rumah adat aslinya, adalah mewakili rumah adat dari Nias Selatan. Rumah yang berbentuk empat persegi panjang dan berdiri di atas tiang ini menyerupai bentuk perahu. Begitu pula pola perkampungan, hiasan-hiasan bahkan peti matinya pun berbentuk perahu. Dengan bentuk rumah seperti perahu ini diharapkan bila terjadi banjir maka rumah dapat berfungsi sebagai perahu. Untuk memasuki rumah adat ini terlebih dahulu menaiki tangga dengan anak tangga yang selalu ganjil 5 - 7 buah, kemudian memasuki pintu rumah yang ada dua macam yaitu seperti pintu rumah biasa dan pintu horizontal yang terletak di pintu rumah dengan daun pintu membuka ke atas. Pintu masuk seperti ini mempunyai maksud untuk menghormati pemilik rumah juga agar musuh sukar menyerang ke dalam rumah bila terjadi peperangan. Ruangan pertama adalah Tawalo yaitu berfungsi sebagai ruang tamu, tempat bermusyawarah, dan tempat tidur para jejaka. Seperti diketahui pada masyarakat Nias Selatan mengenal adanya perbedaan derajat atau kasta dikalangan penduduknya, yaitu golongan bangsawan atau si Ulu, golongan pemuka agama atau Ene, golongan rakyat biasa atau ono embanua dan golongan Sawaryo yaitu budak. Di bagian ruang Tawalo sebelah depan dilihat jendela terdapat lantai bertingkat 5 yaitu lantai untuk tempat duduk rakyat biasa, lantai ke 2 bule tempat duduk tamu, lantai ketiga dane-dane tempat duduk tamu agung, lantai keempat Salohate yaitu tempat sandaran tangan bagi tamu agung dan lantai ke 5 harefa yakni untuk menyimpan barang-barang tamu. Di belakang ruang Tawalo adalah ruang Forema yaitu ruang untuk keluarga dan tempat untuk menerima tamu wanita serta ruang makan tamu agung. Di ruang ini juga terdapat dapur dan disampingnya adalah ruang tidur. Rumah adat Nias biasanya diberi hiasan berupa ukiran-ukiran kayu yang sangat halus dan diukirkan pada balok-balok utuh. Seperti dalam ruangan Tawalo yang luas itu interinya dihiasi ukiran kera lambang kejantanan, ukiran perahu-perahu perang melambangkan kekasaran. Dahulu, di ruangan ini juga digantungkan tulang-tulang rahang babi yang berasal dari babi-babi yang dipotong pada waktu pesta adat dalam pembuatan rumah tersebut. Menurut cerita, di ruangan ini dahulu digantungkan tengkorak kepala manusia yang dipancumg untuk tumbal pendirian rumah. Tapi setelah Belanda datang, kebiasaan tersebut disingkirkan. Untuk melengkapi ciri khas adat istiadat Nias adalah adanya batu loncat yang disebut zawo-zawo. Bangunan batu ini dibuat sedemikian rupa untuk upacara lompat batu bagi laki-laki yang telah dewasa dalam mencoba ketangkasannya. Rumah adat keempat adalah rumah adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga batih. Untuk memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah. Lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75 meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi. Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun berdiam disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Ruangan di belakang sudut sebelah kanan disebut jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau por jabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Ruangan ini dahulu dianggap paling keramat. Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong disebut Jabu Soding diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Di sudut kiri depan disebut Jabu Suhat, untuk anak laki-laki tertua yang sudah kawin dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu. Bila keluarga besar maka diadakan tempat di antara 2 ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah 2 lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Di antara 2 deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah. Bangunan lain yang mirip dengan rumah adalah sapo yakni seperti rumah yang berasal dari lumbung tempat menyimpan, kemudian didiami. Perbedaannya dengan rumah adalah : Dopo berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan bawah terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang asing dan tempat bermain musik. Pada bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan dengan motif garis geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang disebut adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan lambang kesatuan. Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut Gorga. Hiasan lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri disebut mardusi yang terletak di dinding atas pintu masuk. Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah. Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari seng. Di anjungan Sumatera Utara, rumah-rumah adat yang ditampilkan mengalami sedikit perbedaan dengan rumah adat yang asli di daerahnya. Hal ini disesuaikan dengan kegunaan dari kepraktisan belaka, misalnya tiang-tiang rumah yang seharusnya dari kayu, banyak diganti dengan tiang beton. kemudian fungsi ruangan di samping untuk keperluan ruang kantor yang penting adalah untuk ruang pameran benda-benda kebudayaan serta peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di Sumatera Utara. Benda-benda tersebut meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur, alat-alat perang, alat-alat pertanian, alat-alat yang berhubungan dengan mistik, beberapa contoh dapur yang semuanya bersifat tradisional. Sedangkan peragaan adat istiadat dan sejarah dilukiskan dalam bentuk diorama, beberapa pakaian pengantin dan pakaian adat dan sebagainya. |
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda